BO beberapa kali mengadakan kongres untuk meletakkan garis pergerakannya. Pada kongres pertama di Yogyakarta pada 3-5 Oktober 1908, Dokter Tjipto Mangunkusumo yang pada waktu itu sudah menjadi dokter pribumi di Demak, dengan keras mengemukakan pentingnya pendidikan yang bukan hanya untuk priyayi dan untuk masyarakat Jawa lainnya, tetapi juga bagi seluruh masyarakat Hindia Belanda. Ia mengusulkan lebih lanjut agar Boedi Oetomo mengorganisasikan diri secara politik untuk meningkatkan kepentingan-kepentingannya. Namun usul itu ditolak oleh kongres. Maka dengan itu, dalam pasal 2 anggaran dasar Boedi Oetomo tertulis “Tujuan organisasi untuk menggalang kerjasama guna memajukan tanah dan bangsa Jawa dan Madura secara harmonis” inilah tujuan Boedi Oetomo, bersifat Jawa-Madura sentris, sama sekali bukan kebangsaan (Rizki Ridyasmara, “20 Mei Bukan Hari Kebangkitan Nasional”, dalam http://www.eramuslim.com). Karena kekecewaan terhadap Boedi Oetomo yang berpikir sempit dan hanya bergerak untuk kepentingan priyayi Jawa, Tjipto mengundurkan diri yang kemudian bergabung dengan Sarekat Islam.
Aktifitas yang digeluti oleh BO boleh disebut hanya berkutat di bidang pendidikan dan kebudayaan. Sedangkan aktifitas politik tidak dilakukan sama sekali. Hal ini adalah keberhasilan politik etis yang diagendakan Belanda. Sistem pendidikan yang dianut dalam BO sendiri adalah adopsi pendidikan Barat. BO sendiri sangat kooperatif dengan pemerintah Kolonial. Tak heran sejak tahun 1909, BO sudah disahkan oleh Belanda. Bahkan, anggaran dasarnya pun berbahasa Belanda. Perkumpulan Boedi Oetomo dipimpin oleh para ambtenaar, yakni para pegawai negeri yang setia terhadap pemerintah kolonial Belanda. Boedi Oetomo pertama kali diketuai oleh Raden T. Tirtokusumo, Bupati Karanganyar kepercayaan Belanda, yang memimpin hingga tahun 1911. Kemudian dia diganti oleh Pangeran Aryo Notodirodjo dari Keraton Paku Alam Yogyakarta yang digaji oleh Belanda dan sangat setia serta patuh pada penjajah.
Sebuah tesis sejarah yang ditulis Savitri Scherer di Universitas Cornell, Amerika Serikat pada tahun 1975 yang kemudian bukunya diterjemahkan kedalam bahasa indonesia tahun 1985 menggambarkan bahwa Boedi Oetomo pada intinya merupakan gerakan sosial yang mengartikulasikan kepentingan kelompok priyayi non birokrat yang bersifat lokal. Hal ini dikarenakan hubungan yang kurang harmonis antara priyayi ningrat (priyayi birokrat) dengan priyayi profesional, khususnya para dokter Jawa. Dalam konteks ini Schrerer mengungkapkan bahwa priyayi-priyayi Jawa, terutama priyayi birokratis menerima pejabat-pejabat kesehatan dengan rasa permusuhan. Achmad Jayadiningrat, Regent Serang mengungkapkan, “…dokter-dokter itu diperlakukan seolah-olah mereka adalah mantri irigasi…” ia juga mengakui betapa buruknya ia memperlakukan seorang dokter yang datang ke rumahnya untuk menolong istrinya yang sedang sakit. Scherer mengungkapkan bahwa aspirasi utama perjuangan Boedi Oetomo ialah keserasian di kalangan masyarakat Jawa (Scherer, op.cit. hal 53). Sewaktu Soewarno diangkat menjadi sekretaris Boedi Oetomo cabang Batavia yang mewakili mahasiswa STOVIA, ia mengeluarkan edaran yang menjelaskan maksud dan tujuan berdirinya Boedi Oetomo. Edaran itu mengemukakan bahwa Boedi Oetomo akan menjadi perintis terciptanya Persatuan Jawa Umum (Algemeene Javaansche Bond).
Fakta Lain Seputar BO
Firdaus AN, salah satu pelaku dan penulis sejarah sekaligus mantan ketua Majelis Syuro Syarikat Islam, menolak peran Boedi Oetomo sebagai gerakan pelopor kebangkitan nasional. Beliau mengungkapkan “…Boedi Oetomo adalah organsasi sempit, lokal dan etnis, dimana hanya orang Jawa dan Madura elit yang boleh menjadi anggotanya. Orang betawi saja tidak boleh menjadi anggotanya”. Selain itu dalam rapat-rapat perkumpulan, Boedi Oetomo menggunakan bahasa Belanda, bukan bahasa Indonesia. “Tidak pernah sekalipun rapat Boedi Oetomo membahas tentang kesadaran berbangsa dan bernegara yang merdeka. Mereka ini hanya membahas bagaimana memperbaiki taraf hidup orang-orang Jawa dan Madura di bawah pemerintahan Ratu Belanda, memperbaiki nasib golongannya sendiri” papar KH. Firdaus AN. Karena itu, lanjut Firdaus, Boedi Oetomo tidak memiliki andil sedikit pun untuk perjuangan kemerdekaan, karena mereka para pegawai negeri yang digaji Belanda untuk mempertahankan penjajahan yang dilakukan tuannya atas Indonesia, dan Boedi Oetomo tidak pula turut serta mengantarkan bangsa ini ke pintu gerbang kemerdekaan, karena telah bubar pada tahun 1935, tegas KH. Firdaus AN.
Mengenai hubungan Boedi Oetomo dengan Islam, KH Firdaus AN mengungapkan adanya indikasi kebencian terhadap Islam dikalangan tokoh-tokoh Boedi Oetomo. Noto Soeroto, salah seorang tokoh Boedi Oetomo, di dalam satu pidatonya tentang Gedachten van Kartini alsrichtsnoer voor de Indische Vereninging berkata: “Agama islam merupakan batu karang yang sangat berbahaya…sebab itu soal agama harus disingkirkan, agar perahu kita tidak karam dalam gelombang kesulitan.”
Ada fakta lain yang lebih mencengangkan, dalam sebuah artikel di “Suara Umum”, sebuah media massa milik Boedi Oetomo di bawah asuhan Dr. Soetomo terbitan Surabaya, dikutip oleh A. Hassan di dalam Majalah “Al-Lisan” terdapat tulisan yang antara lain berbunyi, “Digul lebih utama daripada Makkah”, “Buanglah ka’bah dan jadikanlah Demak itu Kamu Punya Kiblat!” (Al-Lisan nomor 24, 1938). Bukan itu saja, dibelakang Boedi Oetomo pun terdapat fakta yang mencengangkan. Ketua pertama Boedi Oetomo yakni Raden Adipati Tirtokusumo, Bupati Karanganyar,ternyata adalah seorang anggota Freemasonry. Dia aktif di Loge Mataram sejak tahun 1895. Sekretaris Boedi Oetomo (1916), Boedihardjo, juga seorang Mason yang mendirikan cabangnya sendiri yang dinamakan Mason Boedihardjo. Hal ini dikemukakan dalam buku “Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764-1962” (Dr. Th. Stevens), dalam sebuah buku yang dicetak terbatas dan hanya diperuntukan bagi anggota Mason Indonesia.
Tentang Sarekat Islam
Tiga tahun sebelum lahirnya BO, telah lahir sebuah gerakan nasionalis yang dipelopori oleh cerdik cendekia dan para pedagang Islam. Gerakan yang didirikan oleh Haji Samanhudi di Surakarta pada tanggal 16 Oktober 1905 ini bernama Sarekat Dagang Islam (SDI). SDI merupakan organisasi ekonomi yang berdasarkan pada agama Islam dan perekonomian rakyat sebagai dasar penggeraknya. Di bawah pimpinan H. Samanhudi, perkumpulan ini berkembang pesat hingga menjadi perkumpulan yang berpengaruh. R.M. Tirtoadisuryo pada tahun 1909 mendirikan Sarekat Dagang Islamiah di Batavia. Pada tahun 1910, Tirtoadisuryo mendirikan lagi organisasi semacam itu di Buitenzorg. Demikian pula, di Surabaya H.O.S. Tjokroaminoto mendirikan organisasi serupa tahun 1912. Tjokroaminoto masuk SI bersama Hasan Ali Surati, seorang keturunan India, yang kelak kemudian memegang keuangan surat kabar SI, Utusan Hindia. Tjokroaminoto kemudian dipilih menjadi pemimpin, dan mengubah nama SDI menjadi Sarekat Islam (SI).
SI tidak membatasi keanggotaannya hanya untuk masyarakat Jawa dan Madura saja. Hal ini terlihat pada susunan para pemimpinnya, Haji Samanhudi dan HOS Tjokroaminoto berasal dari Jawa Tengah dan Timur, Agus Salim dan Abdoel Moeis dari Sumater Barat, dan AM. Sangaji dari Maluku. Tujuan SI adalah membangun persaudaraan, persahabatan dan tolong-menolong di antara muslim dan mengembangkan perekonomian rakyat. Keanggotaan SI terbuka untuk semua lapisan masyarakat muslim. Walaupun organisasi ini berlabel agama, dimana selain kaum muslimin tidak boleh menjadi anggota, bukan berarti SI tidak peka terhadap perbedaan. Alasan menggunakan label Islam, karena hanya itulah harta yang tersisa, selebihnya telah dirampas Belanda. Islam juga diyakini bisa menjadi sarana pemersatu bangsa. bagaimanapun juga Islam mengakui plularitas. Islam mensejahterakan semua rakyat. Islam senantisa berpihak kepada yang lemah. Adanya faktor Islam inilah yang membuat SI lebih progresif, tidak terbatas pada kelompok tertentu, dan menginginkan adanya kemajuan bagi seluruh rakyat.
Pada waktu SI mengajukan diri sebagai Badan Hukum, awalnya Gubernur Jendral Idenburg menolak. Badan Hukum hanya diberikan pada SI lokal. Walaupun dalam anggaran dasarnya tidak terlihat adanya unsur politik, tapi dalam kegiatannya SI menaruh perhatian besar terhadap unsur-unsur politik dan menentang ketidakadilan serta penindasan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial. Artinya SI memiliki jumlah anggota yang banyak sehingga menimbulkan kekhawatiran pemerintah Belanda.
Seiring dengan perubahan waktu, akhirnya SI pusat diberi pengakuan sebagai Badan Hukum pada bulan Maret tahun 1916. Di tahun yang sama, SI berhasil membuka 181 cabang di seluruh Indonesia. Jumlah anggota kurang lebih 700.000 orang. Tahun 1919 melonjak drastis hingga mencapai 2 juta orang. Sebuah angka yang fantastis kala itu. Jika dibandingkan dengan BO pada masa keemasannya saja hanya beranggotan tak lebih dari 10.000 orang. Setelah pemerintah memperbolehkan berdirinya partai politik, SI berubah menjadi partai politik dan mengirimkan wakilnya ke Volksraad tahun 1917.
Mempertanyakan Penetapan Kebangkitan Nasional
Penetapan tanggal 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional, sesungguhnya merupakan suatu penghinaan terhadap esensi perjuangan merebut kemerdekaan yang diawali oleh tokoh-tokoh Islam yang dilakukan oleh para penguasa sekular. Karena organisasi Syarikat Islam (SI) yang lahir terlebih dahulu dari Boedhi Oetomo (BO), yakni pada tahun 1905, yang jelas-jelas bersifat nasionalis, menentang penjajah Belanda, dan mencita-citakan Indonesia merdeka, tidak dijadikan tonggak kebangkitan nasional.
Asvi Marwan Adam, sejarawan LIPI menilai penetapan tanggal lahir BO sebagai Hari Kebangkitan Nasional tidak layak. Hal ini karena BO tidak bisa disebut sebagai pelopor kebangkitan nasional. Menurutnya, BO bersifat kedaerahan sempit. “Hanya meliputi Jawa dan Madura saja” katanya. Dalam buku yang ditulisnya, “Seabad Kontroversi Sejarah“ Asvi sendiri menulis bahwa Boedi Oetomo yang oleh banyak orang dipercaya sebagai simbol kebangkitan nasional, pada dasarnya merupakan lembaga yang mengutamakan kebudayaan dan pendidikan, dan jarang memainkan peran politik yang aktif. Padahal politik adalah pilar utama sebuah kebangkitan.
SI merupakan kawah candradimuka berbagai pemikir Indonesia kelas dunia. Sebutlah H.O.S Tjokroaminoto, Agus Salim, Soekarno sampai dengan Tan Malaka, Muso dan Semaun. Tokoh-tokoh ini memiliki andil besar dalam kemerdekaan bangsa Indonesia. Maka, menafikan peran SI dan menggantinya dengan organisasi yang bersifat kedaerahan merupakan hal yang sangat naïf. Dengan lahirnya SDI yang kemudian berganti nama dengan SI, persatuan bangsa ini mulai dirajut. Tanpa membatasi kesukuan dan batas-batas daerah, tanpa pula membedakan pangkat, golongan maupun strata sosial.
Dengan membandingkan Boedi Oetomo dengan Sarekat Islam, maka sewajarnya gerakan seperti Sarekat Islamlah yang dijadikan sebagai pelopor kebangkitan nasional. Tapi mengapa justru para pemegang kekuasaan lebih suka menempatkan Boedi Oetomo sebagai pelopor? Terlihat kecenderungan peminggiran Islam atau bahkan menghilangkan peran Islam dalam sejarah Indonesia. Berdirinya Sarekat Dagang Islam pada 16 Oktober 1905 yang kemudian menjelma menjadi Sarekat Islam pada tahun 1912 merupakan pelopor kebangkitan nasional.
Pelurusan sejarah mengenai kebangkitan Indonesia nampaknya perlu dilakukan. Bagaimana mungkin organisasi sebesar SI bisa hilang dalam sejarah dan pendiriannya juga tidak dijadikan tonggak Kebangkitan Nasional. Fakta-fakta tentang sepak terjang SI seyogyanya bisa dijadikan pertimbangan pemerintah untuk melakukan pelurusan fakta sejarah. Umat Islam yang menjadi salah satu elemen utama dan penting dalam sejarah bangsa Indonesia, seperti kehilangan peranannya. Setiap jejak luar biasa yang ditorehkan, seolah dihapus dan digantikan oleh peranan lain yang sesungguhnya tidak signifikan.
Kita sebagai bagian dari umat ini, seharusnya mengkaji ulang dan mendesak pemerintah meluruskan fakta sejarah ini. Tidak perlu ditutupi dan diterus-teruskan, karena beberapa pakar sejarah juga telah mengungkapkan kesalahan tersebut. sangat disayangkan kalau peran umat terbesar di negeri ini dihilangkan begitu saja.
*) Asisten Wakil Rektor III Unissula