Unissula mengadakan Seminar Pemikiran Buya Hamka “Kontribusi HAMKA Terhadap Pengembangan Islam Indonesia” di Aula Lantai 3 Gedung Ar-Razi Fakultas Kedokteran Unissula (8/11). Acara ini merupakan rangkaian gebyar muharram 1435 H, hadir sebagai narasumber Irfan Hamka ( putra Buya Hamka) , Triyanto Triwikromo (Budayawan Jateng), Fachri Ali (Pemikir Islam UIN Syarif Hidayatullah) dan Amir Mahmud NS (Pemred Suara Merdeka) sebagai moderator.
Jangan kau geser niat kamu kepada Allah semata. Menjadi manusia harus memiliki kepribadian yang pemberani, tegas, pantang mundur dan disertai pemikiran yang jernih. Inilah yang disampaikan Irfan Hamka, putra kelima dari Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan julukan Buya Hamka yang menggambarkan bagaimana sosok ayahnya memberikan nasihat semasa kecil dulu. Selain itu dia juga menyampaikan bahwa pemikiran Buya Hamka banyak dibentuk oleh bacaan dan catatan-catatan penting yang beliau tulis semasa hidupnya.
Menurut Fachri Ali jika dilihat dari kegiatan dan karya-karyanya, Hamka berada dalam kelompok masyarakat islam yang sedang mengalami proses “modernisasi” dalam pengertian yang sangat longgar. Tipe ulama semacam ini jelas merupakan produk intelektual antara kaum reformis Islam dengan persoalan empiris social-ekonomi dan politik di Indonesia. Interaksi ini melahirkan jawaban-jawaban baru terhadap tantangan-tantangan baik terhadap yang lama atau yang baru pula. Jawaban-jawaban baru dengan dasar nilai Islam inilah yang sebagian besar diproduksi oleh Hamka. Oleh karena itulah popularitas Hamka berada di tengah-tengah masyarakat yang telah banyak menyerap nilai budaya dan pengetahuan sekuler atau di kalangan masyarakat yang berada pada lapisan marginal pengetahuan keagamaan.
Sedangkan Triyanto Triwikromo berpendapat bahwa melalui sastra pemikiran-pemikiran yang dihasilkan Hamka ini lebih lembut untuk disampaikan kepada generasi saat ini. Pengaruh sebuah karya sastra yang bersifat lintas tempat dan lintas waktu selalu dimungkinkan karena karya itu pada dasarnya selalu dapat di dekonstekstualisasikan dan dapat di rekonstekstualisasikan kembali. Konteks memang penting, tetapi bukanlah sesuatu yang statis. Dalam sebuah karya sastra, konteks selalu bergerak, bersifat dinamis dan selalu diciptakan dan diperbaharui kembali.
Hamka juga banyak menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya lain seperti novel dan cerpen. Pada tahun 1928, Hamka menulis buku romannya yang pertama dalam bahasa Minang dengan judul Si Sabariah. Kemudian, ia juga menulis buku-buku lain, baik yang berbentuk roman, sejarah, biografi dan otobiografi, sosial kemasyarakatan, pemikiran dan pendidikan, teologi, tasawuf,tafsir, dan fiqih. Karya ilmiah terbesarnya adalah Tafsir al-Azhar. Melalui Tafsir Al-Azhar, Hamka merupakan sedikit dari orang Indonesia yang mampu menguraikan isi Al-Quran secara gamblang. Karya tafsirnya bisa disejajarkan dengan tafsir lainnya yang lahir di abad ke-20, seperti Al-Manar (karya Rasyid Ridha) dan Fi Zhilalil Quran (Sayyid Quthb). Sementara itu di antara novel-novelnya seperti Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Ka’bah, dan Merantau ke Deli juga menjadi perhatian umum dan menjadi buku teks sastra di Malaysia dan Singapura.
Maka dari itu, seperti yang diungkapkan Rektor Unissula Prof Laode M Kamaluddin dalam sambutannya bahwa kebesaran Buya Hamka yang telah memberikan kontribusi terhadap kemajuan umat muslim di bangsa ini pantas bagi Unissula untuk memberikan penghargaan BudAi Award kepada Buya Hamka.