Mahasiswi Fakultas Psikologi Unissula Ryzka Nurdianti mengungkapkan fakta bahwa kasus bullying dari tahun ke tahun semakin meningkat dan meruapakan realitas yang sangat menyedihkan.
“Nyaman berada di lingkungan sekolah merupakan hak tiap siswa. Lingkungan sekolah yang kondusif akan berpengaruh terhadap school well-being atau kesejahteraan psikologis siswa di sekolah. Akan tetapi rasa nyaman sering kali terusik oleh beragam kejadian yang tidak menyenangkan. Salah satu contohnya yaitu bentuk tindak kekerasan yang acap kali terjadi adalah bullying. “ ungkapnya (3/8) kepada Humas Unissula.
Kasus bullying dari tahun ke tahun kian meningkat, sebagaimana dilansir oleh KPAI yakni tahun 2011 terjadi 2178 kasus, 2012 terjadi 3512 kasus, 2013 terjadi 4311 kasus, 2014 terjadi 5066 kasus, dan awal Agustus 2015 terjadi 1698 kasus.
Selain itu hasil penelitian dari KPAI menyatakan bahwa sebanyak 17% kasus kekerasan pada anak terjadi di sekolah. Tahun 2013 terjadi 181 kasus kekerasan yang menyebabkan korban meninggal, 141 kasus dengan korban luka berat, dan 97 kasus dengan korban luka ringan.
Ia bersama Rizqa Nur Fajar dan Hannan di bawah bimbingan dosen Erni Agustina Setiowati SPsi MPsimendalami penelitian ini lebih lanjut dalam bentuk Program Kreativitas Mahasiswa Penelitian Sosial Humaniora (PKM-PSH) yang memperoleh dana hibah Kemenristekdikti dan lolos ke Pimnas yang berlangsung di Bogor mulai pekan depan.
Para peneliti isu bullying mengatakan bahwa perilaku tersebut merupakan tindakan kekerasan kepada seseorang atau kelompok yang disengaja dan berulang yang mengakibatkan korban merasa cemas dan terintimidasi.
Bentuk bullying bisa berupa verbal misalnya menghina, mengolok-olok, mencaci-maki, dan tindakan lain yang yang berbentuk verbal. Bentuk lain dari bullying yaitu non verbal misalnya memukul, mencubit, menendang, dan tindakan lain yang menyakiti secara fisik.
Selain itu bullying juga bisa dalam bentuk bullying tidak langsung yaitu mengucilkan teman-teman mereka yang berada dalam lingkaran sosial yang sama.
Bullying merupakan masalah yang serius, karena dapat berdampak jangka panjang pada masalah psikologis yang berat, seperti rendahnya harga diri hingga depresi yang mendalam, agresif, dan school refusal atau anak menolak sekolah yang dapat menyebabkan putus sekolah.
Disamping itu anak atau siswa yang menjadi korban bullying yang dipaksa dan diancam oleh pelaku untuk melakukan kekerasan kepada orang lain berpotensi untuk menjadi pelaku bullying, maka siklus kekerasan pada anak tidak akan ada habisnya.
Selain berdampak pada korban juga berdampak pada teman korban yang ikut menyaksikan (bystander) atau siapapun yang menyaksikan saat kejadian. Bagi pelaku cenderung akan berdampak pada penyesuaian diri yang buruk dan memiliki pola-pola penyelesaian masalah yang tidak konstruktif dimasa mendatangnya. lebih lanjut, psikolog dari Rowan University, New Jersey menandaskan bahwa tindakan bullying merupakan suatu perilaku yang berdampak negatif bagi kesehatan mental, terutama problem kecemasan dan depresi.
“Atas dasar pertimbangan inilah, kami yang merupakan tim Program Kreativitas Mahasiswa Penelitian Sosial Humaniora (PKM-PSH) yang memperoleh dana hibah Kemenristekdikti tahun anggaran 2016 berpandangan bahwa sudah sangat dibutuhkan suatu kegiatan untuk mengurangi dan mencegah terus berkembangnya perilaku bullying. Kegiatan ini kemudian disebut sebagai program stop bullying.” pungkas Ryzka.
Terjun ke Sekolah
Kegiatan ini melibatkan beberapa sekolah di Kecamatan Semarang Utara. Sebanyak 42 siswa dijadikan kelompok uji coba program stop bullying yang terdiri dari empat sesi. Beragam media digunakan, seperti film pendek, sharing in group, dan bermain peran (role play). Ini dimaksudkan agar siswa yang menjadi peserta program ini mengenal bentuk-bentuk tindakan bullying dan akibat bullying. Selain itu diajarkan pula cara-cara menghadapi bullying dan bagaimana membantu siswa lain yang menjadi korban bully.
Gambar: Mahasiswa Psikologi Unissula Ryzka Nurdianti, Rizqa Nur Fajar, dan Hannan mengkampanyekan stop bullying