Peran perawat di unit perawatan intensif neonatal/bayi baru lahir (NICU) telah mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Lingkungan NICU awalnya memiliki dampak yang buruk bagi perkembangan anak. Penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa bayi baru lahir yang awalnya menjalani perawatan di rumah sakit akan mengalami berbagai permasalahan pertumbuhan dan perkembangan saat beranjak besar.
Bayi baru lahir yang memerlukan perawatan di rumah sakit biasanya adalah bayi sakit dengan penyakit bawaan maupun bayi yang terlahir prematur/ belum cukup bulan. Angka harapan hidupnya pun bervariasi tergantung berat lahir serta berbagai permasalahan kesehatan yang dihadapi oleh bayi. Namun demikian, studi El gawad (2017) membuktikan bahwa hubungan dini antara ibu-bayi prematur memberikan efek positif ketika bayi masih dirawat di NICU.
Perawat neonatal memiliki pemahaman yang baik terkait berbagai cara dan upaya untuk meningkatkan hubungan antara ibu dan bayinya yang terlahir prematur. Perawat dapat membantu ibu untuk menciptakan bonding karena kelahiran prematur dapat mengubah harapan wanita terkait perannya sebagai seorang Ibu.
Wanita seringkali merasa tidak mampu merawat atau melindungi bayinya; sehingga perasaan tersebut mengganggu cara berinteraksi dengan bayi yang baru lahir serta perkembangan bonding attachment nya menjadi terhambat.
Upaya pelibatan ibu di ruang NICU tentu harus memperhitungkan variasi budaya. Kebutuhan setiap ibu akan berbeda berdasarkan karakteristik masing-masing. Studi terbaru menunjukkan bahwa kebutuhan Ibu yang bayinya dirawat di NICU antara lain mendapatkan dukungan emosional dari petugas kesehatan, informasi yang jelas dan komprehensif terkait tindakan medis untuk bayinya, kesempatan untuk ‘mengambil keputusan’, serta kesempatan untuk aktif dilibatkan dalam perawatan bayi.
Hasil analisis pada empat rumah sakit besar di wilayah Kota Semarang, perawat neonatal telah memberikan dukungan emosional berupa perasaan empati yang diungkapkan dari seorang petugas kesehatan kepada ibu dan keluarga bayi. Kejelasan informasi tentang tindakan medis untuk bayi biasanya juga diberikan oleh tenaga kesehatan setiap hari dan setiap kali keluarga meminta penjelasan.
Selanjutnya, kesempatan pengambilan keputusan diberikan melalui persetujuan tindakan yang juga terdapat muatan edukasi saat keluarga diminta untuk ‘mengambil keputusan’ akan tindakan/terapi ke pasien. Poin yang terakhir memang tidak selalu dirasakan oleh keluarga terutama di awal perawatan, namun tenaga kesehatan telah berupaya untuk melibatkan ibu agar dapat aktif terlibat dalam perawatan bayi meskipun keterlibatannya minimal. Sebagai contoh ketika awal-awal menjenguk, ibu biasanya diminta untuk tidak memberikan sentuhan yang berlebihan terhadap bayi, akan tetapi ibu tidak dilarang untuk membangun komunikasi ataupun kedekatan dengan bayi.
Hambatan interaksi di awal ini justru datang dari diri ibu sendiri. Ibu merasa takut bahkan untuk melihat bayinya yang kecil dan harus terpasang banyak alat-alat medis di tubuhnya. Solusi yang dibutuhkan adalah pendampingan dan penjelasan secara rinci kepada ibu terutama di awal menjenguk bayinya yang terlahir prematur.
Selain itu, tentu membangun rasa percaya diri pada ibu merupakan poin utama untuk menggerakkan dan memotivasi ibu melakukan interaksi sejak dini bersama bayinya. Sehingga, penerapan asuhan perkembangan di lingkungan NICU dapat menjadi suatu perubahan yang signifikan dalam proses asuhan keperawatan karena berfokus pada pemberian stimulus berupa komunikasi sejak awal dan sesuai untuk perkembangan bayi prematur. Akhirnya, rumah sakit ramah bayi kecil dapat terbangun melalui kerjasama yang baik antara petugas kesehatan, ibu, serta keluarga.
*Ns Nopi Nur Khasanah MKep SpKepAn, Kandidat Doktor Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, Dosen Fakultas Ilmu Keperawatan Unissula