Menu 

RELASI BIRRUL WALIDAIN DAN TAKRIMUL AULAD DI PERGURUAN TINGGI

Tuesday, June 6th, 2023 | Dilihat : 531 kali

WhatsApp Image 2023-06-06 at 08.53.44

UNISSULA sebagai salah satu perguruan tinggi terkemuka telah menegaskan diri sebagai kampus birrul walidain. Ini berarti bahwa karakter dasar segenap sivitas akademika UNISSULA salah satunya harus berlandaskan sikap birrul walidain yakni berbakti kepada kedua orang tua. Tentunya tidak ada orang tua yang ingin menyesatkan anaknya. Seluruh orang tua memiliki cita-cita yang sama yakni kebaikan dan kebahagiaan anaknya. Oleh karenanya, sikap birrul walidain diharapkan menjadi sarana agar cita-cita seluruh orang tua tercapai sehingga kebaikan generasi umat Islam dapat terwujud.

Manusia terlahir ke dunia melalui syariat yang telah ditetapkan Allah yaitu melalui ayah dan ibu. Sebuah syariat yang penuh dengan keindahan sebab di dalamnya terdapat ketulusan cinta dan kasih sayang, serta keikhlasan yang luar biasa. Kasih sayang yang diberikan suami kepada istri, atau orang tua kepada anaknya, dan juga sebaliknya. Ketentuan Allah tersebut menimbulkan suatu konsekuensi baru berupa hubungan lahiriyah yang biasa disebut sebagai hubungan kekeluargaan. Hubungan tersebut tentunya menimbulkan adanya hak dan kewajiban antara satu sama lain. Suami wajib menafkahi istri, ayah dan ibu wajib mendidik anak-anaknya dengan pendidikan terbaik serta mencurahkan kasih sayang di sepanjang hidup kepada anak-anaknya. Seorang anak wajib berbakti kepada kedua orang tuanya, tidak hanya ketika keduanya masih hidup, bahkan ketika sudah meninggal. Kewajiban itu tentunya merupakan konsekuensi logis dari hak yang telah didapatkan dari yang lain.

Birrul Walidain dan Takrimul Aulad, Sebuah Konsekuensi Logis

Hubungan timbal balik sebuah kewajiban dan hak merupakan sesuatu yang lumrah dalam hubungan antara manusia. Timbal balik hak dan kewajiban antara anak dan orang tua bahkan ditegaskan melalui perintah dalam beberapa ayat Alquran. Kewajiban orang tua kepada anak disebutkan dengan indah dalam QS. Al-Baqarah : 233 :

وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَن يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ وَعلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

“Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna. Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut.”

Sementara hak anak dalam ayat tersebut menimbulkan konsekuensi kewajiban untuk berbuat baik kepada kedua orang tuanya dengan berdasarkan QS. Al-Isra : 23 :

وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُواْ إِلاَّ إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِندَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاَهُمَا فَلاَ تَقُل لَّهُمَآ أُفٍّ وَلاَ تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلاً كَرِيمًا

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.”

Hubungan hak dan kewajiban antara anak dan orang tua menjadi sebuah keselarasan yang indah. Jika keduanya dipenuhi dan dilaksanakan, pola hubungan keduanya akan harmonis. Sebaliknya, jika salah satu mengabaikan, atau bahkan keduanya mengabaikan hak dan kewajiban, maka yang terjadi adalah perpecahan dalam keluarga.

Keseimbangan Birrul Walidain dan Takrimul Aulad

Selain sebagai sebuah konsekuensi logis dari hubungan antar manusia, birrul walidain dan takrimul aulad juga merupakan konsep hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan secara seimbang. Keseimbangan antara birrul walidain dan takrimul aulad juga merupakan salah satu keteladanan yang dikisahkan dalam kisah hubungan antara Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail alaihima as-salam serta diabadikan dalam QS. Ash-Shaffat 102 :

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَابُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَاأَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ (102)

Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”

Ayat yang sebenarnya merupakan kisah latar belakang disyariatkannya ibadah kurban ini, sesungguhnya mengandung pembelajaran berharga terutama terkait jalinan hubungan antara orang tua dan anak. Keseimbangan antara sikap birrul walidain dan takrimul aulad benar-benar dicontohkan secara nyata oleh dua orang utusan Allah sebagai wujud keteladanan bagi seluruh orang tua dan anak di dunia. Salah satunya dalam aspek komunikasi. Betapa Nabi Ibrahim menggunakan sapaan sayang kepada anaknya dengan lafaz ya bunayya yang artinya wahai anakku. Dalam Tafsir Al-Bahr al-Muhith disebutkan bahwa panggilan tersebut adalah panggilan syafaqah atau kasih sayang seorang ayah kepada anaknya. Nabi Ismail juga memanggil ayahnya dengan panggilan kehormatan, ya abati yang artinya wahai ayahku.

Dalam kitab Tafsir an-Nukat wal Uyun, terdapat beberapa penafsiran terhadap lafadz as-sa’ya. Salah satunya ketika seorang anak mampu melakukan pekerjaannya sendiri atau telah berusia cakap. Keteladanan hubungan antara orang tua dan anak juga dapat terlihat dari sikap terbuka Nabi Ibrahim yang menawarkan kepada Nabi Ismail yang telah berusia cakap untuk membantu mempertimbangkan perintah Allah berupa penyembelihan Ismail. Hal ini jelas terlihat dari redaksi fandzur ma dza tara yang artinya ‘maka fikirkanlah apa pendapatmu’. Ini merupakan wujud nyata dari konsep takrimul aulad. Pola perintah orang tua kepada anak yang telah berusia cakap atau mandiri ialah dengan keterbukaan terhadap sesuatu yang akan diperintahkan kepada anak sehingga anak diberikan kesempatan untuk mempertimbangkan meski tetap diarahkan. Sikap Nabi Ibrahim yang memuliakan anaknya kemudian terbalaskan oleh sikap Nabi Ismail dengan birrul walidainnya melalui perkataan if’al ma tu’mar yang artinya lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Nabi Ismail mengetahui bahwa mimpi ayahnya yang juga seorang Nabi, ialah wahyu atau perintah Allah.

Birrul Walidain dan Takrimul Aulad dalam Konteks Perguruan Tinggi

Dalam konteks perguruan tinggi, keseimbangan antara konsep birrul walidain dan takrimul aulad juga harus diupayakan pelaksanaanya. Birrul walidain sivitas akademika sebuah perguruan tinggi hendaknya diwujudkan dengan berbakti kepada kedua orang tua yang masih hidup, serta mendoakan dan melestarikan amal saleh kedua orang tua yang telah tiada. Seorang mahasiswa berbuat baik kepada kedua orang tuanya melalui prestasi yang membanggakan, bersikap jujur dan melaksanakan amanah pendidikan dengan sebaik-baiknya. Seorang mahasiswa juga berkewajiban memuliakan dan menghormati dosennya sebagai orang tuanya di lingkungan kampus. Sebagai timbal balik dari sikap itu, seorang dosen juga berkewajiban memuliakan mahasiswanya dengan pelayanan pendidikan dan keteladanan terbaik. Ia harus mampu menjadi sosok teladan yang dapat dicontoh perilakunya bagi mahasiswanya.

Terminologi ayah seringkali hanya dimaknai sebagai ayah jasad atau seorang lelaki yang istrinya ialah perempuan yang melahirkan kita. Sementara istilah ayah sebenarnya tidak hanya orang tua kita, namun juga meliputi seorang ayah yang menikahkan anaknya untuk kita, dan seorang guru yang memberikan ilmunya kepada kita. Syekh Zakaria al-Anshari dalam muqaddimah kitab Hasyiyah al-Jamal menyatakan :

لأنه يجب على أبناء التعليم بر آبائهم بل برهم أولى من بر آباء النسب لأن آباء النسب بهم تنمية الأجسام وآباء التعليم بهم تنمية الأرواح التي يترتب على تنميتها السعادة في الدارين

“Sesungguhnya diwajibkan bagi para murid untuk berbuat kebaikan kepada guru-guru mereka. Bahkan berbuat baik kepada guru lebih utama daripada berbuat baik pada ayah nasab (kandung). Karena sesungguhnya, ayah nasab ialah hanya berkaitan dengan perkembangan jasad, sementara para guru berkaitan dengan perkembangan ruh yang berorientasi pada kebahagiaan di dunia dan di akhirat.”

Artinya, dalam konteks perguruan tinggi, menjadi kewajiban bagi seorang mahasiswa selain berbuat baik kepada kedua orang tuanya, juga berbuat baik kepada para dosennya.

Selain itu, dalam rangka mewujudkan kampus dengan perilaku dasar karakter birrul walidain dan takrimul aulad, budaya akademik yang dilaksanakan harus memiliki dasar kuat berupa pengajaran tentang akhlak dalam dunia pendidikan. Beberapa referensi yang juga familier di kalangan umat Islam di Indonesia terkait rujukan akhlak dalam dunia pendidikan antara lain kitab ta’limul muta’allim, Washaya al-Aba’ lil Abna’, Nashaih al’Ibad dan lain sebagainya. Kitab-kitab inilah yang seharusnya secara rutin diajarkan kepada civitas akademika dalam kampus birrul walidain.

Oleh: Muchamad Coirun Nizar, S.H.I., S.Hum., M.H.I. (Dosen FAkultas Agama Islam Unissula)

 

 

Related News