Naluri Kenegarawanan Mr Sjaf
Oleh A Mujib El-Shirazy
Pengantar Redaksi: Terkait dengan peringatan ”Satu Abad Mr Sjarifuddin Prawiranegara”, Unissula pada Selasa (10/5) menyelenggarakan ”International Seminar on Islamic Finance and its Global Challenges”, sekaligus untuk meneladani kejujuran dan jiwa patriotismenya dalam era pembangunan modern. Acara menghadirkan Dr AM Fatwa, Prof Dr Iraj Toutochian (Universitas Al Zahra Iran), Prof Dr H Soeroso Imam Zadjuli (Unair), Prof Dr Laode M Kamaluddin MSc MEng, dan Dr H Halim Alamsjah (Deputi Gubernur BI).
”PERJUANGANKU tidaklah berat karena hanya mengusir penjajah tapi perjuanganmu lebih berat karena melawan bangsamu sendiri,” kalimat yang menggetarkan ini, senantiasa dikutip Bung Karno dalam pidato-pidatonya. Ungkapan yang melukiskan betapa beratnya perjuangan para pahlawan bangsa dalam mengawal kemerdekaan pada makna hakikinya. Kemerdekaan yang tidak semata-mata lepasnya dari penjajah tapi yang memastikan terjaminnya kesejahteraan dan rasa keadilan bagi seluruh rakyat.
Sjafruddin Prawiranegara, adalah satu di antara banyak putra terbaik bangsa yang membuktikan kebenaran kata-kata Soekarno itu. Dalam hidupnya, ia pernah mengalami satu fase yang membuatnya terpaksa berhadapan dengan rekan perjuangannya, demi memastikan garis perjuangan bangsa ini tetap pada rel semestinya.
Sjafruddin sebagaimana ditulis Ajip Rosidi pernah mengatakan, ”Revolusi kita tidak cukup hanya untuk menghapuskan penjajahan Belanda dan mempersatukan bangsa Indonesia. Yang diperlukan adalah sistem di masyarakat, suatu cara susunan politik dan ekonomi yang menjamin terlaksanya keadilan sosial, kemakmuran rakyat dan sebagainya, sesuatu yang tak mungkin dapat dicapai pada zaman lampau dengan adanya kolonial-kapitalisme Belanda.”
Lebih lanjut Mr Sjaf, begitu ia waktu itu dipanggil mengatakan, ”Pemimpin dan rakyat yang mengikutinya, yang belum pandai menentukan jalan yang baik atau tak berani menempuh jalan yang diketahuinya sebagai jalan yang lebih baik, hakikatnya belum merdeka. Lahirnya mungkin merdeka tapi batinnya masih dijajah nafsu dan ketakutan yang buta. Penjajahan batin oleh nafsu dan ketakutan yang buta, lebih berbahaya daripada penjajahan Jepang dan Belanda.”
Sebagai negarawan sejati, Sjafruddin tidak bisa tinggal diam melihat bangsanya yang baru seumur jagung justru berjalan menuju arah berkebalikan. Meski kemerdekaan sudah ada dalam genggaman, faktanya hakikat kemerdekaan sesungguhnya belum bisa dirasakan oleh rakyat: kemerdekaan yang menjamin sistem keadilan dan kemakmuran rakyat.
Dia pun melangkah mengikuti naluri kenegarawanannya, memperjuangankan yang ia anggap sebagai kebenaran. Sebuah pilihan sulit yang harus ia tebus dengan harga mahal. Gara-gara pilihannya itu ia harus merasakan getirnya kehidupan penjara, berpisah dari anak istri, dan dilupakan sejarah.
Nilai Kebenaran Dia pula pemrakarsa Oeang Repoeblik Indonesia (ORI), bagian dari simbol bangsa yang merdeka. Ia pernah menjabat Menkeu dan Gubernur BI yang pertama. Yang paling signifikan adalah perannya menyambung estafet kepemimpinan bangsa ini ketika Soekarno-Hatta ditahan Belanda.
Pada 19 Desember 1948, ketika Belanda melancarkan agresi militer II dan menawan sebagian besar pemimpin tertinggi bangsa ini, Sjafruddin cepat bergerak menyelamatkan bangsa ini. Dari hutan, ia mengumumkan kepada dunia, bahwa meski pimpinan bangsa ini telah ditawan, tak membuat bangsa ini mati. Ia mengumumkan berdirinya Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) dan ia pula memimpinnya.
Ketika dunia disilaukan oleh pandangan dua ideologi besar: komunisme dan kapitalisme, ia pun lantang mengatakan, ”Bukan komunisme yang akan menang, bukan pula kapitalisme. Dalam pergolakan paham ideologi akhirnya Islam yang tampil dan bertindak sebagai juru pisah, tetapi juga sebagai otoritas rohani tertinggi, yang memimpin umat manusia ke arah kebahagiaan kekal.”
Sjafruddin berkeyakinan bahwa ideologi apapun yang merupakan hasil dari olah pikir manusia pasti ada kelemahannya karena ideologi itu merupakan hasil kreasi manusia yang bertumpu pada akal. Sementara akal yang dipandang sebagai alat yang sempurna untuk menangkap ilmu, sebenarnya jauh dari sempurna.
Kini, Sjafruddin tidak lagi bersama kita, tapi yang ia torehkan dalam sejarah menjadi pelajaran berharga bagaimana semestinya sikap negarawan sejati, yang bertindak tanpa pamrih dan senantiasa menyuarakan nilai-nilai kebenaran.
”Dalam perjuangan, kita tidak pernah memikirkan pangkat dan jabatan karena berunding pun kita duduk di atas lantai. Yang terpenting adalah kejujuran, siapa yang jujur kepada rakyat dan jujur kepada Tuhan, perjuangannya akan selamat,” kata Mr Sjaf, seperti berbicara mengenai dirinya. (10)
— A Mujib El-Shirazy, dosen Peradaban Islam Fakultas Agama Islam Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang
Sumber : www.suaramerdeka.com