Telah banyak remaja berprestasi dan mengharumkan nama Indonesia. Prestasi yang didapat tidak hanya berskala regional ataupun nasional, namun juga internasional. Sebagai contoh pada awal bulan Agustus 2020 lalu di ajang Online World Schools Debating Championship (OWSDC) 2020. Siswa Indonesia mengukir prestasi dalam kejuaraan debat pelajar dunia ini.
Penghargaan yang diraih yakni sebagai Top 5 ESL Best Speaker dan Top 10 Open Best Speaker. Prestasi berskala internasional juga pernah diraih pada tahun 2019 dalam Tournament of Champion World Scholars Cup (WSC).
Kompetensi akademik berskala internasional ini terdiri dari empat kategori perlombaan, yaitu debat, menulis, pengetahuan umum, dan cerdas cermat. Keberhasilan menjadi juara umum kedua sedunia (overall champion) dalam turnamen WSC berarti peserta memiliki kombinasi kompetensi yang menyeluruh dan menjadi pemenang dalam berbagai jenis kategori yang dilombakan.
Berbagai berita terkait prestasi remaja ini sangat menggembirakan untuk dibaca, namun disisi lain banyak juga berita terkait kenakalan remaja.
Tindak kenakalan oleh remaja sering disebut sebagai perilaku untuk menunjukkan lambang keberanian dirinya, namun banyak masyarakat yang menganggapnya sebagai suatu perilaku memprihatinkan. Hal tersebut karena saat ini, kenakalan remaja yang semula hanya biasa saja, sekarang masyarakat telah merasakan keresahan dan cenderung merambah segi-segi kriminal yang secara yuridis menyalahi ketentuan-ketentuan hukum pidana.
Banyak remaja yang terpapar tindakan kekerasan baik yang dilakukan oleh mereka sendiri (tawuran, aksi kriminal) ataupun oleh orang lain seperti pemerkosaan, bullying, dan tindak kekerasan lainnya. Pakar sosiologi menyebutkan bahwa kenakalan remaja merupakan gejala patologis sosial pada remaja yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial. Akibatnya, mereka mengembangkan bentuk perilaku yang menyimpang.
Segala bentuk penyimpangan yang terjadi dapat diakibatkan oleh faktor internal (diri remaja sendiri) maupun faktor eksternal (lingkungan remaja). Beberapa faktor internal antara lain adanya krisis identitas dalam diri remaja dan kontrol diri yang lemah, mengingat remaja memiliki karakter yang labil, egois, dan cenderung mengedepankan kesenangan.
Adapun faktor eksternal dari keluarganya serta masyarakat atau lingkungan sosialnya seperti lingkungan sekolah atau lingkungan masyarakat yang kurang kondusif, pengaruh teman sebaya yang diperparah dengan minimnya pengawasan lembaga/institusi sekolah. Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa teman sebaya memiliki pengaruh yang lebih besar daripada orangtua pada sikap, minat, penampilan, kegiatan dan perilaku.
Orang tua memiliki kesempatan lebih sedikit untuk berinteraksi dengan anaknya yang berusia remaja. Hal tersebut karena remaja lebih sering berada di luar rumah dan mulai memperluas pergaulan sosialnya baik dengan teman sebayanya maupun bergaul dengan orang dewasa lain.
Orang tua perlu menyadari bahwa hubungan sosial memiliki peran yang sangat penting bagi remaja. Oleh karena itu, sebagai bentuk tanggung jawab, orangtua dapat mendorong anak remajanya untuk meningkatkan keterampilan perlindungan diri.
Praktik keterampilan perlindungan diri pada remaja dapat dimulai dengan menciptakan lingkungan yang kondusif. Lingkungan yang mendukung perubahan mental dan emosional remaja ke arah perubahan positif. Lingkungan kondusif dapat terbentuk dari penanaman perasaan positif dan kedekatan dengan sang Pencipta.
Langkah pertama yang sebaiknya dilakukan oleh orangtua adalah membangun rasa percaya diri (self-confidence) remaja. Rasa percaya diri merupakan satu bentuk perasaan positif yang dibutuhkan oleh remaja untuk membentuk jati diri positif.
Orang tua berperan dalam membimbing dan memberikan contoh yang baik agar dapat menjadi acuan bagi remaja; sehingga remaja dapat meneladani sikap dan sifat orangtua untuk akhirnya mampu menyelesaikan permasalahan yang dihadapi dengan bijaksana seperti yang dicontohkan.
Rasa percaya diri yang orang tua bangun sebaiknya tidak berlebihan, ajarkan remaja untuk mensyukuri nikmat dari Sang Pencipta dan meyakini bahwa semua yang terjadi adalah kekuasaanNya dan yang terbaik untuknya.
Langkah kedua yang dapat dilakukan adalah dengan membangun rasa kehormatan diri (self-respect) pada remaja. Harga diri memainkan peran penting dalam menentukan kerentanan remaja terhadap berbagai jenis permasalahan yang akan dihadapi.
Rasa kehormatan diri merupakan bentuk perasaan positif dari menghargai diri sendiri. Harga diri yang positif ini dapat dibangun agar remaja mampu mengatakan ‘tidak’ untuk segala sesuatu yang membuatnya merasa tidak aman/ nyaman.
Penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa tidak ada perbedaan pada harga diri remaja putri yang memakai hijab dan yang tidak memakai hijab. Hal ini menunjukkan bahwa faktor eksternal lebih berpengaruh terhadap pembentukan harga diri. Pernyataan ini didukung oleh penelitian lain yang menyebutkan bahwa terdapat pengaruh positif strategi koping dan harga diri terhadap pengungkapan diri remaja di jejaring sosial online.
Orang tua dapat membantu remaja untuk membangun harga dirinya melalui cara berikut: pertama, diskusikan kelebihan – kekurangan diri agar remaja mampu mengenalinya dan pastikan remaja percaya bahwa setiap orang terlahir dengan banyak potensi dalam diri. Kedua ajarkan remaja untuk mampu menerima kelebihan dan kekurangan diri agar dapat menghadapi persoalan dengan besar hati.
Ketiga, dorong remaja untuk memanfaatkan kelebihan dan meningkatkan keahlian yang dimiliki dengan harapan akan berpengaruh positif pada semua aspek kehidupan remaja. Keempat, bimbing remaja untuk memperbaiki kekurangan agar lebih mudah untuk mengembangkan diri ke arah yang lebih baik. Kelima, yakinkan remaja untuk percaya dan selalu berpikir bahwa setiap orang memiliki derajat yang sama.
Hal ini bertujuan untuk menumbuhkan sifat optimisme yang kuat. Remaja harus meyakini bahwa perbedaan mungkin ada pada sektor ekonomi/sosial namun, setiap orang mempunyai posisi yang sama pada wilayah hak dan kesempatan, serta sama di hadapan Sang Pencipta.
Begitu besar peran orang tua dalam membentuk anak yang berkarakter positif seperti yang telah diulas sebelumnya. Peran tersebut akan terlaksana dengan efektif jika orangtua mempunyai keterampilan berbicara pada remaja.
Berikut merupakan tips untuk berdiskusi tentang perlindungan diri pada remaja. Pertama, kenali anak bahwa saat memasuki masa remaja, ia menginginkan kemandirian dan orang tua adalah orang terbaik yang dapat mengajarkan remaja tentang perlindungan diri.
Kedua, ketahui bahwa keterampilan perlindungan diri yang efektif membutuhkan kecerdasan berfikir, karakter yang kuat, dan kedekatan dengan orangtua. Ketiga, mulailah ‘sekarang’, usia dan kematangan sangat penting dan secara kognitif remaja dapat meningkatkan keterampilan perlindungan diri dengan baik dan mempraktikkannya.
Keempat, bicara-dengarkan-libatkan-praktekkan. Untuk memulai berbicara pada remaja dapat dilakukan secara terbuka dengan mengenali situasi/kondisi remaja untuk mulai bercerita (misal, saat makan bersama, nonton televisi bersama, menikmati sore bersama); sehingga remaja dapat dengan nyaman menceritakan aktivitas dan kebiasaannya sehari-hari dan dapat menyampaikan apa yang disukai dan tidak disukai.
Selain itu, yakinkan pada remaja bahwa kebahagiaan dan keselamatannya merupakan yang utama bagi orangtua. Aktivitas mendengarkan dapat dilakukan dengan berdiskusi terkait batasan tempat yang boleh/tidak boleh dikunjungi, waspada ketika remaja berbicara dengan orang asing baik secara langsung maupun melalui jejaring sosial online, dan percayai ‘insting’ anda sebagai orang tua.
Aktivitas mendengarkan dapat memperkuat ‘hubungan pertemanan’ dengan remaja. Kegiatan melibatkan diri dapat berguna untuk mendapatkan kepercayaan remaja; sehingga mereka mau memberikan informasi dimana berada sepanjang waktu dan menyampaikan pada anda jika ada perubahan rencana. Sebagai orangtua, anda perlu ingat bahwa tidak ada yang bisa menggantikan perhatian dan pengawasan anda.
Yang terakhir adalah aktivitas mempraktekkan, setelah ini praktekkanlah keterampilan perlindungan diri bersama anak remaja anda. Berlatihlah, sehingga menjadi kebiasaan dan akhirnya mampu membentuk remaja yang berkarakter dan penuh prestasi.