Menu 

Mekanisme Pemakzulan Perlu Dibenahi

Friday, January 6th, 2012 | Dilihat : 398 kali

Saya yakin setiap orang yang menggunakan akal dan nuraninya, pasti akan mengharamkan praktek korupsi, karena  korupsi  telah terbukti  menyengsarakan umat, merugikan negara dan menciptakan ketidak-adilan.  Karena itu Islam sebagai agama yang bermuara kepada rahmatan lil alamin tentu sangat mengharamkan korupsi dalam segala bentuknya. Demikian ungkap Rektor IAIN Walisongo, Prof Muhibbin dalam seminar nasional bertajuk fenomena korupsi sebagai media menjatuhkan kepala daerah oleh konspirasi politik di Fakultas Hukum Unissula (6/1).

Masih menurut Muhibbin menjatuhkan pemimpin dari posisinya secara illegal sangat tidak menguntugkan karena berpotensi besar mengakibatkan instabilitas dalam masyarakat “Pemakzulan seorang kepala daerah atau bahkan presiden tentu diperlukan mekanisme yang jelas, agar  tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan dan demi menjaga ketertiban dan ketenteraman umat.” Ungkapnya.

Di negara kita tentunya sudah sangat jelas bahwa seorang kepala daerah harus mengangkat sumpah sebelum menduduki jabatannya tersebut, dan manakala melanggar sumpahnya  maka dapat diberhentikan dengan cara dan mekanisme tertentu yang tidak terlalu susah.

Pelanggaran terhadap sesuatu yang dipersyaratkan yang memungkinkan pemakzulan seorang kepala daerah, sesuai dengan ketentuan yang pernah disampaikan oleh Nabi Muhammad saw.  Namun demikian kalau seorang pemimpin hanya melakukan sesuatu yang tidak disukai oleh kebanyakan umatnya, tetapi tidak melanggar ketentuan yang menjadi persyaratan, maka tidak dibenarkan untuk memakzulkan kepalala daerah tersebut.  Alasannya sangat jelas ialah agar ada kepastian dan tidak menimbulkan  kondisi yang tidak diharapkan.

Seharusnya kalau kepala daerah benar benar melakukan korupsi, mekanisme pemakzulannya  harus jelas dan tidak perlu harus ada konspirasi politik.

Tetapi justru yang perlu segera untuk dibenahi ialah  mekanisme pemakzulan tersebut, agar tidak terlalu berbelit dan sulit dilaksanakan.  Karena kalau masih seperti saat ini sangat rentan dengan konspirasi politik dan bahkan sangat tergantung kepada kemampuan dan kekuatan yang bersangkutan untuk bermain atau juga sangat tergantung kemauan beberapa orang dalam partai politik.  Sehingga tetap tidak kondusif bagi pemerintahan yang bersih dan kredibel.

Islam dapat membenarkan pemakzulan seorang kepala daerah dengan syarat memang benar benar telah melanggar sumpah ataupun persyaratan yang telah ditentukan sebelumnya.  Karena hal tersebut akan memberikan jaminan terselenggaranya pemerintahan yang bertanggung jawab.

Tetapi penggulingan pemerintahan yang sah tanpa ada alasan yang dapat dibenarkan menurut aturan, jelas tidak akan dibenarkan, karena hal tersebut akan dapat menimbulkan ketidak pastian serta kekacauan.

Jadi yang terpenting sesungguhnya ialah bagaimana mengatur mekanisme yang jelas, mudah dilaksanakan, dan tidak bertele tele, tentang kemungkinan pemakzulan pimpinan, termasuk kepala daerah.

Korupsi yang sangat jelas kemadlaratannya, saya kira merupakan alasan yang sangat tepat untuk dimakzulkannya seorang pemimpin.  Namun sekali lagi tanpa harus melalui sebuah konspirasi, melainkan memang ada mekanismenya.

Pecah Kongsi

Jawade Hafidz SH MH (Wakil Dekan 1 FH Unissula) yang juga menjadi pembicara pada kesempatan tersebut mengungkapkan konflik antara kepala daerah dan wakilnya baik ditingkat provinsi maupun maupun kabupaten kota yang mengatasnamakan korupsi menjadi realitas sosial yang menyimpan “bom waktu” karena cepat atau lambat pasti akan ada yang jatuhakibat konspirasi politik yang dibangun untuk meraih kekuasaan baru di tengah “air yang keruh”.

Masih menurut Jawade paket kepala daerah yang dibangun atas dasar kepentingan politik praktis ternyata tidak efektif, tidak bisa bertahan  sampai akhir masa jabatan. Hal itu tak bisa lepas dari godaan fihak ketiga yang punya agenda tertentu dengan mengatasnamakan pemberantasan korupsi.

Bahkan di akhir ceramahnya Jawade berkesimpulan fakta fakta berupa pecahnya kongsi kepala daerah dan wakilnya yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia yang dibangun dengan politik praktis menjadi sangat relevan dijadikan sebagai alasan mendasar untuk melakukan evaluasi dan perubahan UU yang mengatur tentang pemilihan kepala daerah dan wakilnya.

 

Keterangan foto : Prof Muhibbin ( kedua dari kiri )

Related News