Namaku Shita Chetrin Lavesia. Tapi teman-teman SMA sering memanggilku dengan sebutan bocil alias bocah cilik. Sebutan itu tercetus karena memang postur tubuhku yang kecil. Aku anak pertama dari pasangan ayah dan ibu yang sangat memanjakan anaknya. Tentu saja keberuntungan itu tak kunikmati sendirian. Bersama adikku yang terpaut usia tujuh tahun, aku saling berbagi keberuntungan memiliki orang tua seperti mereka.
Ayahku bernama Damin dan ibuku Damayanti. Namanya terdengar sangat serasi bukan? Ya tentu. Dengan segala keterbatasan yang dimiliki, mereka berdua berhasil menjadi orang tua yang hebat bagi anak anaknya. Menjadi orang tua yang hangat, pengertian, dan selalu berusaha menjadi teman anak- anaknya. Dari kelas lima SD aku memang tidak tinggal dengan kedua orang tuaku. Ayah dan ibu tinggal di Kota Cepu di tempat mereka bekerja. Sedangkan aku tinggal di Pati bersama kakek dan nenekku. Namun, hal tersebut tidak membuat diriku merasa kekurangan kasih sayang. Ayah dan ibu selalu yang terbaik untuk diriku.
Namun sayang, keberuntungan yang ada dalam diriku tak berlangsung lama. Di usiaku yang baru saja menginjak 15 tahun dan masih duduk di bangku SMP kelas tiga, ayahku pergi meninggalkan keluarga kami untuk selamanya. Tepat dua hari setelah hari ulang tahunku. Kejadian itu menjadi momok mengerikan yang tejadi di dalam hidupku. Mungkin bukan hanya di hidupku, melainkan di hidup keluargaku.
Ibuku yang sehari-harinya hanya menjadi ibu rumah tangga, harus mulai bekerja karena hidup harus terus berlanjut. Namun itu tak berlangsung lama. Ketika adikku duduk di bangku kelas dua SD, mereka pulang ke Pati untuk tinggal kembali bersamaku.
Seolah tak ada habisnya, kemalangan kembali menimpa keluarga kami. Bak sepasang merpati yang tak bisa saling meninggalkan, ibuku dipanggil Allah Sang Maha Pencipta menyusul ayahku. Tepat beberapa hari setelah ulang tahun kesepuluh adikku. Saat itu aku sedang duduk di bangku SMA kelas tiga. Lagi-lagi di bangku kelas tiga. Kejadian itu membuatku terpukul.
Kesedihan nampaknya belum benar benar pergi dari hidupku. Ketika tiba saatnya pengumuman SNMPTN, ternyata aku tidak diterima di universitas pilihanku. Namun hal tersebut tidak membuat diriku putus asa. Aku kembali mencoba peruntungan untuk mengikuti UTBK, namun akhirnya gagal juga. Dan ketika pengumuman tersebut, aku mendapatkan pesan Whatsapp dari Unissula. Dalam e-brosur tersebut tertera kuliah gratis hingga akhir dengan menggunakan KIP-Kuliah.
Aku yang tahu persis bagaimana kondisi keluargaku segera memanfaatkan peluaang tersebut. Dan mungkin memang sudah takdirnya, aku diterima di Universita Islam Sultan Agung Semarang program studi S1 Ilmu Komunikasi. Sungguh benar kata pepatah saat Allah menutup sebuah pintu untuk kita. Disaat yang bersamaan Allah SWT juga membuka banyak jalan yang lebih baik untuk hamba hambanya yang masih memiliki keyakinan dan tidak mudah putus asa. Tuhanku yang Maha Pengasih juga menjanjikan dalam firmannya yang agung dalam surat Al Insyirah ayat 6 “Karena Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan”.
Di Prodi Ilmu Komunikasi Unissula aku belajar banyak hal dan juga mendapati banyak teman baik. Begitu juga dengan atmospir pendidikan dan lingkungannya yang baik. Aku berdoa kepada Allah SWT semoga pilihan kuliah di Unissula ini bisa menjadi awal yang baik untuk meretas cita cita dan masa depanku.
Banyak sekali orang yang ragu dan meremehkan diriku. Dengan latar belakang keluarga seperti itu, mereka mungkin ragu bagaimana mungkin aku bisa menempuh bangku perkuliahan. Sekarang, inilah diriku. Aku akan terus maju dengan bukti dan prestasi.
*Kisah Inspiratif ini ditulis oleh Shita Chetrin Lavesia, Mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi Unissula