Dikeluarkannya surat edaran Dikti No: 152/E/T/2012 tentang publikasi karya ilmiah untuk mahasiswa program S1, S2, dan S3 memantik pro dan kontra yang hangat di kalangan akademisi perguruan tinggi. Hal itu tak lepas dari adanya persyaratan khusus kelulusan bagi mahasiswa program sarjana yakni menghasilkan makalah yang diterbitkan pada jurnal ilmiah. Mahasiswa program magister harus menerbitan karya di jurnal ilmiah nasional, serta menerbitkan makalah di jurnal internasional bagi mahasiswa program doktoral.
Rektor Unissula yang juga Ketua Forum Rektor Indonesia 2013 Prof Laode M Kamaluddin PhD memberikan pendapatnya atas silang sengkarut kebijakan Jurnal Dikti yang menghangat akhir akhir ini. Hal itu disampaikan Kamis (9/2) di Semarang.
Laode memuji kebijakan strategis yang diambil Dirjen Dikti. Mengingat ada latar belakang yang sangat mulia dibalik dikeluarkannya keputusan tersebut yakni untuk mempercepat pengembangan keilmuan serta menekan plagiarisme. Untuk mengejar ketertinggalan Indonesia dalam membuat karya ilmiah, dimana saat ini jumlah karya ilmiah yang dihasilkan perguruan tinggi Indonesia masih rendah bahkan jika dibandingkan dengan negara negara di lingkup ASEAN. Mendorong peningkatan kualitas dan kuantitas karya ilmiah di Indonesia. Membiasakan sarjana untuk mempunyai kemampuan menulis ilmiah. Namun demikian kebijakan tersebut terkesan terburu buru dan tidak matang persiapannya.
Laode mengambil sebuah kesimpulan bahwa kebijakan publikasi ilmiah internasional bagi mahasiswa S3 sangat tepat. Karena pada umumnya mereka yang menempuh pendidikan S3 adalah orang orang yang secara serius memperdalam pemahaman akademisnya pada sebuah bidang tertentu. Sehingga kedalaman akdemis mahasiswa S3 perlu diuji melalui penerbitan penerbitan jurnal internasional.
Kedua, syarat publikasi ilmiah nasional untuk program S2 perlu dimatangkan. Hal ini didasarkan pada fakta bahwasannya sebagian gelar S2 di Indonesia lebih banyak ditempuh sebagai sebuah kebutuhan untuk mengejar karier terutama pada PTS/PTN di luar Jawa. Sehingga hal ini juga harus dipertimbangkan.
Ketiga, kebijakan publikasi ilmiah sebagai syarat kelulusan S1 belum tepat dan terkesan membingungkan. Kami khawatir jika persyaratan jurnal untuk S1 dipaksakan justru akan menghambat, seperti studi mahasiswa menjadi lebih lama dsb. Hal ini semakin diperkuat oleh fakta jumlah jurnal yang ada belum bisa menampung jumlah jurnal ilmiah yang calon sarjana yang lulus setiap tahunnya. Padahal jangankan jurnal di banyak negara maju seperti Amerika, Jepang dll progam S1 tidak wajib membuat skripsi, tapi diganti dengan mata pelajaran yang setara dengan skripsi atau tugas akhir.
Jika jurnal dapat dipublikasikan secara online juga harus dicari formula yang tepat tentunya dengan tujuan tetap menjaga kaidah “kesucian” penulisan jurnal ilmiah.
Keempat, terkait dengan hal itu Laode perlu memberikan saran antara lain. Perlu dijelaskan tentang syarat jurnal bagi mahasiswa S1. Jika memang bisa dipublikasikan melalui jurnal online maka perlu dijelaskan kaidah kaidah yang mengaturnya. Perlu dijelaskan jenis tulisan yang bisa masuk ke jurnal ilmiah, apakah ringkasan skripsi, laporan penelitian kecil, laporan proyek, laporan pembuatan produk atau tugas makalah. Perlu diadakan kajian atau diskusi lebih lanjut antara pimpinan perguruan tinggi (Forum Rektor) dengan Dikti untuk membahas kebijakan ini. Jika sudah mendapat keputusan dan persetujuan dari diskusi tersebut maka dapat segera disosialisasikan dan diterapkan diseluruh perguruan tinggi/institut/ sekolah tinggi di seluruh Indonesia.
Hal itu sangat mendesak untuk segera dilakukan mengingat keterbatasan waktu jika kebijakan Dikti akan diberlakukan sesuai edaran yakni mulai Agustus 2012.