Takwa adalah sebaik-baik bekal untuk meraih kebahagiaan abadi di akhirat. Oleh karena itu, khatib mengawali khutbah yang singkat ini dengan wasiat takwa. Marilah kita semua selalu meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah subhanahu wata’ala dengan melaksanakan semua kewajiban dan meninggalkan segenap larangan.
Allah subhanahu wata’ala telah mengabulkan doa Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dan menjadikan Ka’bah sebagai tujuan dan dambaan hati jutaan umat Islam. Kaum muslimin, tua-muda, fakir-kaya, pejabat-rakyat jelata, Arab-China dan apa pun suku dan negaranya berbondong-bondong dari berbagai penjuru dunia pergi menuju ke Baitullah tiap tahun untuk melaksanakan ibadah haji. Perbedaan bangsa, ras, suku, bahasa dan warna kulit tidak menghalangi mereka untuk bersatu melaksanakan ibadah yang sama, di tempat yang sama dan dengan tujuan yang sama, yaitu sama-sama memenuhi panggilan Allah dengan niat mendapatkan ridha-Nya semata. Allah ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ (الحجرات: ١٣)
Maknanya: “Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia menurut Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala yang tampak dan tersembunyi dari perbuatanmu” (QS al-Hujurat: 13).
Jika direnungkan dengan seksama dan mendalam, berbagai rangkaian manasik haji memiliki makna dan pelajaran yang dapat kita ambil hikmahnya. Haji adalah momen pertemuan tahunan yang begitu besar, yang jutaan kaum muslimin berkumpul di sana. Mereka bersatu dalam kalimat (لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ), berdoa kepada Tuhan dan pencipta mereka serta saling mengenal dan mengeratkan hubungan antar mereka. Di sana, di tanah suci, mereka saling memahami dan tolong menolong dalam kebaikan agar mereka semakin kuat melawan godaan Iblis dan bala tentaranya.
Di sanalah tampak dengan jelas makna dan nilai persaudaraan dan kesetaraan di antara kaum muslimin. Para jamaah haji seluruhnya melepas pakaian masing-masing dan menggantinya dengan pakaian ihram yang lebih mirip dengan kain kafan mayat. Mereka menyerukan kalimat talbiyah:
لَبَّيْكَ اللّٰهُمَّ لَبَّيْكَ لَبَّيْكَ لَا شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لَا شَرِيْكَ لَكَ
dalam keadaan menanggalkan semua pakaian dan perhiasan dunia yang fana’. Hanya pakaian Ihram yang mereka kenakan. Tua-muda, miskin-kaya, Arab-non Arab, semuanya sama menurut Allah. Mereka tidak saling mengungguli kecuali dengan takwa sebagaimana ditegaskan oleh Baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
لَا فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى أَعْجَمِيٍّ إِلَّا بِالتَّقْوَى رواه أبو نعيم فِى الحلية
Maknanya: “Tidak ada kemuliaan bagi orang Arab melebihi non Arab kecuali dengan takwa” (HR Abu Nu’aym dalam Hilyah al-Auliya’)
Haji adalah latihan sekaligus praktik dari kesabaran, menanggung berbagai kesulitan dan menghadapi berbagai masalah dalam kehidupan untuk memperoleh derajat yang tinggi dan meraih surga yang telah disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. Haji adalah pintu yang luas untuk melakukan kebaikan dan ketaatan serta meraih derajat takwa yang merupakan sebaik-baik bekal menuju kehidupan akhirat.
Ketika jutaan jamaah haji menyerukan kalimat talbiyah dengan mengucapkan (لَبَّيْكَ اللّٰهُمَّ لَبَّيْكَ), maka momen dan seruan ini mengingatkan kita akan dahsyatnya peristiwa hari kiamat pada saat manusia dikumpulkan di padang mahsyar. Ketika malaikat Israfil ‘alaihis salam meniup sangkakala maka terbelahlah kuburan-kuburan dan orang-orang keluar darinya secara berbondong-bondong. Kemudian dikumpulkan di Mahsyar dalam tiga keadaan. Sebagian dalam keadaan makan, minum, berpakaian dan menaiki kendaraan. Mereka adalah kaum muslimin yang bertakwa yang menjalankan semua kewajiban dan menjauhi perkara-perkara yang diharamkan. Sebagian dalam keadaan tidak beralas kaki dan telanjang bulat. Mereka adalah para pelaku dosa besar di antara kaum muslimin. Dan sebagian lagi dikumpulkan dalam keadaan terbalik, kaki di atas dan kepala di bawah lalu diseret oleh para malaikat sebagai penghinaan terhadap mereka. Mereka adalah orang-orang kafir.
Sedangkan sa’i antara Shafa dan Marwah mengingatkan kita akan kedatangan Sayyidina Ibrahim ‘alaihis salam ke Makkah al-Mukarramah, tempat turunnya wahyu, yang Allah jadikan aman dan tenteram. Sa’i antara Shafa dan Marwah merupakan perjalanan menapak tilas kembali apa yang dilakukan Sayyidah Hajar. Di Makkah, tempat yang tidak ada air dan tanamannya, Hajar bersama Isma’il yang masih bayi ditinggal oleh Nabiyyullah Ibrahim ’alaihis salam. Hajar pun bertawakkal secara penuh kepada Allah sembari beriktiar dengan berlari-lari kecil antara Bukit Shafa dan Bukit Marwah mencari air saat Ismail menangis dan butuh air. Hingga pada akhirnya Allah hilangkan kesulitannya dan Allah berikan jalan keluar dari masalahnya. Allah keluarkan untuknya air Zamzam yang nikmat dan penuh berkah. Allah ta’ala berfirman:
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا، وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ (سورة الطلاق: ٢-٣
Maknanya: “Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar dan memberinya rizki dari arah yang tiada disangka-sangkanya Dan barang siapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupinya.” (QS ath-Thalaq: 2-3).
Sedangkan Wuquf di Padang ‘Arafah, maka di dalamnya terdapat hikmah yang besar dan kenangan yang agung. Di sana kita melihat lautan manusia. Kita mendengar lantunan suara mereka yang keras, berdoa kepada Allah yang Mahakuasa, dalam keadaan merendahkan diri, tunduk, berharap rahmat-Nya dan takut terhadap siksa-Nya. Mereka berdoa kepada Allah, Sang Pencipta dan Pemilik mereka, dengan bahasa yang bermacam-macam dan logat yang beragam. Ini semua mengingatkan jamaah haji akan hari kiamat dan tahapan-tahapannya yang menakutkan dan luar biasa, saat semua hamba berdiri merendahkan diri dan sangat berhajat kepada pencipta mereka, pemilik semua kekuasaan, yang Maha Esa dan Maha Mengalahkan.
Adapun melempar jamrah, maka ibadah ini juga mengandung hikmah yang agung bagi kita. Ketika melempar jamrah, jamaah haji akan mengingat dan mengenang bagaimana Iblis menampakkan diri kepada Nabi Ibrahim ’alaihis salam untuk menggodanya setiap kali berada di masing-masing jamrah. Sayyidina Ibrahim ‘alaihis salam pun menghinakan Iblis dengan melemparnya dengan batu kerikil sebagaimana diperintahkan oleh Allah ta’ala. Maka kita, segenap umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam diperintah untuk melempar jamrah dalam rangka menghidupkan sunnah Ibrahim ‘alaihis salam. Ini semua adalah simbol perlawanan kepada Iblis dan penghinaan terhadapnya. Seakan orang yang melempar berkata dalam dirinya kepada setan: “Seandainya engkau menampakkan diri kepada kami sebagaimana engkau menampakkan diri kepada Ibrahim, niscaya kami akan melemparmu sebagai penghinaan terhadapmu.” Namun demikian, tempat-tempat ini bukanlah tempat tinggal setan seperti dugaan sebagian orang.
Sedangkan thawaf adalah bentuk konsistensi dalam ketaatan kepada Allah. Seakan orang yang berthawaf mengatakan: “Wahai Tuhanku, ke manapun kami berkeliling dan di manapun kami berada, kami tetap istiqamah taat kepada-Mu.” Thawaf juga merupakan pengagungan terhadap rumah atau bangunan Ka’bah yang dimuliakan oleh Allah. Allah ta’ala memerintahkan kita untuk mengagungkannya. Baitullah adalah simbol yang menyatukan hati kaum muslimin dalam beribadah kepada Allah. Oleh karenanya, kaum muslimin berthawaf mengelilingi Ka’bah bukan untuk beribadah kepada Ka’bah, melainkan karena melaksanakan perintah Allah.
Allah memerintahkan agar kita berthawaf mengelilinginya, mengagungkannya dan Allah menjadikannya simbol untuk menyatukan hati kaum muslimin di sekelilingnya dalam beribadah kepada Allah yang Mahahidup dan mengatur segenap hamba-Nya. Sebagaimana kita bahwa Allah tidaklah bertempat tinggal di Ka’bah. Kita wajib meyakini bahwa Allah ta’ala ada, tanpa bersifat dengan sifat-sifat makhluk, tidak membutuhkan tempat dan tidak menyerupai sesuatu pun di antara makhluk-Nya.
Allah tidak tinggal di Ka’bah, tidak bertempat di langit dan tidak menempati seluruh tempat. Akidah seorang muslim tidak lain adalah bahwa Allah yang menciptakan semua makhluk tidaklah menyerupai semua makhluk, tidak menyerupai langit dan bumi, tidak menyerupai manusia dan tidak menyerupai sesuatu pun. Allah bukanlah benda (jism), Allah bukan cahaya. Allah tidak memiliki gambar, rupa dan bentuk serta sifat makhluk, apa pun itu. Apapun yang terlintas di benak kita, maka Allah tidak menyerupainya. Inilah akidah yang diyakini dan diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, para sahabat dan umat Islam dari masa ke masa di berbagai belahan dunia.
Oleh: Dr H Ghofar Sidiq MAg (Dosen Fakultas Agama Islam Unissula) Dalam Khutbah Jumat Masjid Abu Bakar Assegaf