Pertemuan Forum Rektor Indonesia resmi dibuka oleh Rektor Unissula Prof Laode M Kamaluddin PhD pukul 10:50 di Unissula Semarang. Acara ini dihadiri rektor dan pimpinan universitas dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia juga dapat disaksikan streaming Unissula Tv via web www.unissula.ac.id. Pertemuan ini diilhami oleh beberapa hal sebagai berikut, Pembahasan draf RUU pendidikan dll.
Dalam pertemuan tersebut juga membahas berbagai haal antara lain fenomena politik Indonesia hari ini sudah semakin memasuki babak yang sulit dicerna dengan akal sehat. Perlunya refleksi sungguh-sungguh untuk melihat realitas dengan seksama. Mulai dari banyaknya kasus dugaan korupsi yang melibatkan pejabat, anggota elite partai, hingga anggota dewan. Begitu juga proyek pengadaan sarana prasarana, dimana universitas tak luput dari bidikan kelompok tertentu dalam melakukan pengerukan kekayaan secara tidak sah. Fenomena ini sungguh melukiskan kondisi yang sangat memprihatinkan.
Mengingat keberadaan Universitas sebagai penopang kemajuan peradaban bangsa yang sangat penting, Universitas sebagai institusi puncak perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan kebudayaan yang terus-menerus menguatkan weltanschaung (pandangan dunia) dan philosophie grounslag (landasan falsafah) bangsa. Universitas juga merupakan jantung peradaban umat manusia, dimana generasi penerus mendatang dipersiapkan disini. Pendidikan adalah investasi terbaik sebuah bangsa. Citra lembaga pendidikan merupakan jiwa dan ruh semangat belajar sebuah bangsa. Dan runtuhnya citra universitas secara tidak langsung akan merobohkan mental anak bangsa. Bangsa pun akan kehilangan pijakan dan arah.
Pada titik inilah perlu penyelamatan sejak dini atas dunia kampus Karena hal itulah, pembaharuan sistem penganggaran perlu dilakukan secepat mungkin, supaya universitas sebagai gerbong terakhir penjaga moral bangsa ini tidak menjadi korban dari budaya politik transaksional negeri ini.
Mencermati secara lebih mendalam, fenomena yang terjadi di Indonesia hari ini menunjukkan pertama, praktek budaya politik transaksional di Indonesia sudah memasuki wilayah yang tak terkontrol, bahkan dunia pendidikan pun tak luput dari sasaran bidik kaum elit tertentu. Kedua, sistem penganggaran negeri ini masih berpihak pada potensi besar penyalah-gunaan dan atau tuduhan tuduhan korupsi.
Pemberantasan korupsi hari ini sudah tidak lagi sebuah aktivitas yang linier, melainkan sarat akan dinamika politik. Dengan kata lain, pemberantasan korupsi selain persoalan hukum, perbincangannya berbatasan tipis dengan institusi politik. Apalagi pemberantasan korupsi hari ini banyak menyebut-sebutkan keterlibatan tokoh-tokoh partai yang membuat gambaran kasus ini identik dengan pertarungan politik, ketimbang sebuah misi menguatkan prinsip pemerintah yang baik (good governance).
Pemberatasan korupsi hari ini lebih banyak diwarnai dengan pola sosial yang melukiskan bahwa aktivitas lebih banyak berupa ‘jebakan’ ketimbang penyadaran. Pemberantasan korupsi lebih mengedepankan tindakan represif ketimbang preventif. Bahkan dari insitusi pemberantasan korupsi malah semakin melejit citranya manakala ia semakin banyak menangkap koruptor. Prestasinya diukur dengan seberapa banyak ia menangkap koruptor ketimbang menyiapkan sistem kelembagaan yang bersifat preventif berbasis akuntabilitas dan transparansi. Seakan-akan lembaga pemberantasan ini mengaja membiarkan korupsi berjalan terlebih dahulu. Setelah mengidentifikasi bukti-buktinya dengan cukup, maka mereka yang dituduh melakukan dugaan korupsi akan ditangkap satu per satu. Dengan penangkapan itu, lembaga pemberantasan korupsi mengklaim kasus-kasus tersebut sebagai deretan prestasinya.
Konsep pemiskinan koruptor, rehabilitasi pelaku (dader), dan pembaharuan birokrasi merupakans sebuah rangkaian wacana yan dipinggirkan oleh lembaga superbody pemberantasan korupsi. Padahal sistem pembalasan dalam tradisi ilmu hukum pidana itu merupakan rumusan klasik. Perkembangan etiologi, kriminologi, dan sosiologi kriminal telah menempatkan sebuah arus utama pemikiran psikologi, kedokteran, dan ilmu sosial bagaimana mengobati kejahatan dan mencegahnya.
Namun, lembaga pemberantasan korupsi malah terjebak dalam mesin-mesin politik dari agenda politik tersembunyi (hidden interest) dari tatanan sistem politik yang rapuh.
Dengan demikian, perlu adanya perbaharuan sistem hukum pemberantasan korupsi dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Meniupkan ruh filsafat kebangsaan pada institusi pemberantasan korupsi supaya tidak lagi terjebak dalam rajutan teknis tanpa melihat cita bangsa yang mencerdaskan.
Beberapa peraturan perlu mendapatkan perhatian secara seksama, seperti: United Nations Convention Against Corruption, 2003 yang diratifikasi menjadi Undang-Undang No. 7 Tahun 2006 tentang Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi; Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi; Undang-Undang No, 31 Tahun 1999 tentang Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi; dan Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Sekian sistem hukum ini hendaknya diberikan sentuhan pembacaan moral (moral reading) sebagaimana yang diungkap oleh Ronald Dworkin. Dworkin (1996: 187-8) mengutamakan perlunya kesadaran dan falsafah bangsa dalam memaknai sebuah hukum dan sistemnya, sebuah agenda popular moralitas dalam sistem kelembagaan hukum, pendeknya merekonstruksikan hukum bukan seperti —apa yang disebut Dworkin sebagai—‘pembentuk yang tidak pernah kontemplasi (the framer can never contemplated).’ Kejadian demi kejadian hendaknya menjadi rujukan bagi perbaikan terus menerus, tidak dilembagakan secara mapan menyuntik status quo.
Namun perbaikan sistem hukum dan penganggaran saja tidak cukup. Rekonstruksi budaya politik juga perlu disuarakan dalam mencegah ‘sapu-sapu kotor’ membersihkan lembaga negara dari korupsi. Alih-alih mensucikan lantai lembaga negara dari kotoran korupsi, sapu-sapu kotor itu malah makin memperparah kondisi nusantara. Sistem negara dipenuhi dengan mafia anggaran. Mafiaoso inilah yang justru sebab musahab (plichetiger) bukan pelaku pembantu (mede dader) yang melembagakan tradisi ‘sisipkan amplop’ atau ‘sunat anggaran’ dalam sistem perencanaan program pembangunan. Hari ini, untuk menyelamatkan kepentingan bangsa, depolitisasi pembahasan program pendidikan hendaknya segera digulirkan.
Pembahasan masalah pendidikan hendaknya dijauhkan dari kepentingan politik praktis, yang berbeda saat pembahasan dilakukan pada regulasi tentang pemilu, pilpres, pilkada, parpol, dst. Tradisi politik transaksional telah menyuburkan praktek ‘kongkalikong’ pembahasan anggaran.
Pembahasan program pendidikan yang terlalu sentralistik juga menjadi salah satu potensi problem yang kian membungkap langkah perjuangan dunia kampus Indonesia. Selain diterpa oleh isu seputar penyalah-gunaan dana hibah sarana-prasarana pendidikan, perguruan tinggi dihujani ancaman sentralisasi kehidupan kampus. Rancanan Undang-Undang tentang Pendidikan Tinggi yang sedang hangat-hangatnya diperbincangkan disinyalir berpotensi melemahkan posisi kampus dalam politik kebangsaan nusantara.
Dengan format RUU perguruan tinggi per 9 April 2012 diperlihatkan sebuah romantisisme sentralisasi yang tiran pemerintah dalam mengendalikan perguruan tinggi. Menurut RUU ini, bidang keilmuan didisiplinkan: menteri berwenang untuk memberikan dan mencabut izin penyelenggaraan program studi (pasal 7 ayat 4 huruf e); rumpun ilmu pengetahuan dan teknologi lainnya diatur dengan peraturan menteri (pasal 10 ayat 4). Bagaimana mungkin kebebasan akademik yang menjadi adagium suci bagi perguruan tinggi ditekan oleh regulasi unifikasi yang bersifat represif. Penelitian dan pengabdian masyarakat pun dikendalikan oleh kementrian, bukan inisiatif perguruan tinggi yang bersangkutan lagi (pasal 46 ayat 4 dan pasal 48 ayat 5).
Bidang organisasi diatur sedemikian detailnya oleh kementrian, tidak berdasarkan kebutuhan perguruan tinggi masing-masing yang biasanya disesuai dengan perkembangan masyarakat setempat (pasal 71). Kementrian memiliki otoritas penuh dalam mengatur dari kebijakan paling umum hingga pada level dapur sebuah lembaga perguruan tinggi. Tak hanya birokrat kampus yang akan terkena getahnya dari RUU ini, tapi juga lembaga kemahasiswaan (pasal 13 ayat 7). Hal ini mengingatkan kita pada memori sejarah kelam dunia akademik nusantara yang dikuasai penuh oleh rejim orde baru melalui terbitnya Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef Nomor 0156/ U/ 1978 tentang Normalisasi Kehidupan Kampus dan Nomor 037/ U/ 1979 tentang Badan Koordinasi Mahasiswa (NKK/ BKK). Dengan regulasi berpostur seperti ini, kebebasan akademik jelas terbungkam, nuansa intelektual kampus tiada lagi bisa berkembang sesuai dengan hukum kodratnya, melainkan dibonsai tak dibiarkan mengalir menuai takdirnya. Yang paling parah dalam RUU ini adalah rotasi dosen oleh kementrian. Memungkinkan para dosen yang kritis mudah sekali disingkirkan dari peredaran dunia akademik-intelektual (pasal 73 ayat 3).