Menu 

Produksi Karya Sastra Minim

Wednesday, June 1st, 2011 | Dilihat : 800 kali

Pasca Orde Baru, produksi karya sastra di Indonesia dinilai amat minim. Bahkan, tak semua karya sastra yang muncul belakangan ini, layak dikonsumsi masyarakat dari berbagai umur terlebih sampai dapat memotivasi mereka.

Hal itu, merupakan beberapa kesimpulan seminar internasional bertema “Peran Sastra dalam Membentuk Peradaban Islam yang Penuh Cinta” sekaligus launching novel “Cinta Suci Zahrana” karya Habiburrahman El Shirazy yang diadakan Unissula Semarang, di aula Fakultas Teknologi Industri, Selasa (31/5). 

“Kondisi ini amat memprihatinkan, terlebih di tengah kondisi globalisasi dan kemajuan teknologi yang semakin masif. Kita bisa maju dan jaya, salah satunya ya harus memproduksi dan mengonsumsi karya-karya sastra yang baik dan berkualitas sehingga memotivasi setiap orang terutama generasi muda,” kata Habiburrahman El Shirazy alias Kang Abik, sastrawan dan penulis novel best seller Ayat-Ayat Cinta.

Dikatakan, kita harus berkaca pada era sebelum kemerdekaan, di mana karya-karya sastra bisa menginspirasi dan memotivasi para pemuda melawan penjajah demi meraih kemerdekaan. Dicontohkan, dalam pergerakan kemahasiswaan Indonesia modern, karya sastra ikut andil menyuarakan suara hati rakyat. 

“Karya sastralah yang paling lantang bersuara dalam demonstrasi mahasiswa tahun 1998 sehingga menumbangkan rezim Orde Baru, seperti puisi Wiji Tukul berjudul Peringatan yang dihafal hampir seluruh aktivis mahasiswa,” ungkapnya.

Pada era Orde Baru dan Orde Lama, menurut Kang Abik, banyak pula karya sastra yang buruk, tetapi jumlahnya jauh lebih sedikit dibanding karya sastra yang inspiratif dan berkualitas. 

“Masyarakat kini juga harus mendapat arahan agar tidak memproduksi atau mengkonsumsi karya sastra yang buruk, beracun, dan kandungan gizinya tak dapat dipertanggungjawabkan.”

Rektor Unissula, Prof Laode M Kamaluddin MSc MEng mengatakan, agar karya sastra bermutu mestinya merujuk pada Alquran. Menurutnya, Alquran memiliki nilai sastra yang amat tinggi sehingga bisa membius banyak orang. Salah satunya, Umar bin Khattab, yang terdorong masuk Islam karena mendengar ayat-ayat Alquran disyairkan. Padahal saat itu, Umar akan membunuh adiknya. “Meski demikian, karya sastra perlu mengikuti perkembangan zaman dan teknologi ke depan yang diprediksi berbasis animasi,” ujar guru besar Sejarah Peradaban Islam itu.

Sementara itu, pengajar University of New South Wales Australia, Dr Minako Sakai mengakui, dunia sastra Indonesia belakangan ini mulai hidup dengan dominasi karya sastra bermutu dan bernafaskan keislaman. “Kondisi ini perlu dipelihara dengan mendorong masyarakat tak sekadar membaca karya sastra melainkan mempraktikkan seperti membuat puisi, novel hingga dilayarlebarkan,” imbuhnya. (H70-52)

 

Keterangan gambar : Sastrawan dan penulis novel best seller Habiburrahman El Shirazy menginspirasi mahasiswa yang hadir dalam seminar sastra diadakan Unissula di aula FTI, Selasa (31/5)

 

Sumber : www.suaramerdeka.com

Related News