Dosen harus membantu mahasiswa agar tidak terjebak dalam hiperrealitas. Hal itu diungkapkan Dr Muna Yastuti Madrah MA dalam salah satu sesi perkuliahan di Prodi S1 Ilmu Komunikasi Unissula (12/6/2023). Caranya dengan membantu meningkatkan pemahaman mahasiswa tentang media sosial maupun media massa. Selain itu mahasiswa juga harus kritis dengan mempertanyakan keaslian sebuah informasi.
Lebih lanjut Muna Madrah membahas implikasi hiperrealitas untuk pembelajaran. Ia berargumen bahwa “Hiperrealitas dapat mempersulit mahasiswa untuk membedakan antara yang nyata dan yang disimulasikan. Ini dapat menyebabkan masalah dengan pemikiran kritis dan pengambilan keputusan”, ungkapnya.
Menurutnya hiperealitas adalah kondisi di mana apa yang nyata dan apa yang disimulasikan menyatu secara mulus. Hiperrealitas adalah produk dari kondisi postmodern, di mana media semakin meresap dalam kehidupan manusia.
Sementara itu hiperrealitas dalam media sosial saat ini dapat dikatakan sebagai rekayasa makna dalam sebuah media. Hiperrealitas dalam media sosial muncul karena dampak dari perkembangan teknologi yang kini terus berkembang. Hal ini dikarenakan berbagai bentuk simulasi yang dilakukan media untuk membuat pencitraan yang menarik.
Pakar kenamaan Pilliang menyebut melalui media, realitas tidak hanya diproduksi, disebarluaskan atau direproduksi, bahkan juga dimanipulasi. Pendapat yang lebih menohok disampaikan oleh Jean Baudrillard yang menyebuut hiperrealitas merupakan suatu simulasi yang lebih nyata dari yang nyata, serta lebih menawan dari yang menawan, lebih benar dari yang benar. Hiperrealitas menghapuskan perbandingan antara yang nyata serta yang imajiner. Hiperealitas media digunakan oleh Baudrillard untuk menerangkan perekayasaan arti dalam media.
Ia juga memaparkan materi mengenai new media dalam proses reproduksi dan konsumsi budaya. Dalam pemaparannya, madrah membahas bagaimana cara media mereproduksi mindset atau pemikiran masyarakat umum tentang suatu hal.
Ia memberi contoh fashion show yang sempat viral pada tahun 2022 lalu yaitu Citayam Fashion Week. Ia menjelaskan bagaimana suatu mindset masyarakat dapat direproduksi oleh media. “Citayam Fashion Week itu merubah pandangan kita tentang dunia fashion. Sebelum Citayam Fashion Week ini hadir fashion show itu identik dengan glamour atau kemewahan”, ujarnya.
Bayu Dwi Nanda salah satu mahasiswa Ilmu Komunikasi yang mengikuti perkuliahan itu mengatakan sesi pembelajaran tersebut informatif dan menggugah pikiran. Ia tertarik untuk mendiskusikan tema hiperealitas bersama teman satu kelompoknya yakni Amalia Desy, Widiya Arifiyani, dan Fathika Afifurrohmah.